Dalam konteks dinamika global yang penuh ketidakpastian dan tantangan struktural, pemerintah Indonesia menghadirkan Paket Ekonomi 2025 yang memuat delapan akselerasi program strategis sebagai upaya merespons kebutuhan mendesak untuk percepatan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan kesejahteraan. Strategi ini, meskipun ambisius, memerlukan pengkajian mendalam dari aspek efektivitas, keberlanjutan, dan inklusivitas.
Pertama, program magang untuk lulusan perguruan tinggi yang diarahkan untuk mengurangi kesenjangan keterampilan di pasar kerja merupakan langkah positif. Namun, keberhasilan jangka panjang program ini sangat bergantung pada sinergi dengan sektor industri dan kemampuan pemerintah dalam memastikan kualitas serta kesinambungan pendampingan magang. Uang saku setara UMP selama enam bulan memang memberikan insentif awal, tetapi tidak menjamin transisi mulus ke pekerjaan permanen.
Kedua, kebijakan perluasan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) pada sektor padat karya dan pariwisata dapat mendorong daya saing sektor-sektor tersebut yang mengalami tekanan akibat dinamika ekonomi global. Namun, potensi distorsi fiskal perlu diwaspadai, terutama dalam konteks penurunan penerimaan pajak yang berimbas pada defisit anggaran jika tidak dikelola hatihati.
Ketiga, bantuan pangan berupa penyaluran beras selama dua bulan merupakan kebijakan stimulus sosial yang bersifat jangka pendek. Meskipun penting untuk menjaga daya beli masyarakat rentan, tanpa adanya program komplementer menuju ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan struktural, bantuan ini memiliki keterbatasan dalam mendorong perubahan ekonomi fundamental.
Keempat, program padat karya tunai mengintegrasikan stimulus fiskal dan pemberdayaan sosial dengan pemberian kesempatan kerja langsung dalam pembangunan infrastruktur. Pendekatan ini relevan untuk mendorong konsumsi domestik, namun efisiensi pengelolaan pelaksanaannya harus dipertimbangkan agar dampak makroekonomi optimal tanpa menimbulkan pemborosan sumber daya.
Kelima, deregulasi perizinan usaha berbasis risiko merupakan terobosan penting untuk memperbaiki iklim investasi dan menghilangkan hambatan birokrasi. Implementasi yang transparan dengan pengawasan ketat menjadi kunci keberhasilan sehingga tidak menimbulkan penyalahgunaan atau degradasi lingkungan akibat perizinan yang longgar.
Keenam, relaksasi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) oleh OJK, didukung dana dari BPJS, mengindikasikan komitmen terhadap inklusi keuangan dan akses pembiayaan rakyat kecil yang selama ini terbatas. Namun, risiko moral hazard harus diwaspadai dalam memberikan kemudahan kredit.
Ketujuh, perluasan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian bagi pekerja bukan penerima upah menawarkan perluasan jaminan sosial yang berdampak positif dalam perlindungan sosial. Selanjutnya, penguatan sistem administrasinya sangat vital agar program ini berjalan efektif dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Kedelapan, program pemberdayaan ekonomi lokal melalui Koperasi Desa Merah Putih dan Kampung Nelayan Merah Putih merefleksikan perhatian terhadap pembangunan dari akar rumput. Meski demikian, sinergi dengan pembangunan wilayah dan integrasi pasar nasional harus diupayakan agar produktivitas dan distribusi hasil usaha dapat optimal dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, delapan akselerasi ini merupakan respons kebijakan yang terstruktur untuk percepatan pertumbuhan dan pemerataan. Namun, tantangan utama terletak pada efektivitas implementasi yang membutuhkan koordinasi lintas sektoral, monitoring berkelanjutan, dan kebijakan penyesuaian berbasis data empiris. Agar tidak sekadar program simbolik, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak hanya menjadi stimulasi jangka pendek, tetapi fondasi yang kokoh untuk transformasi struktural menuju pembangunan ekonomi nasional yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan.
Penulis: Ines Myravania