Caption Foto : Rapat koordinasi di Badan Legislasi DPR RI bersama pimpinan komisi membahas RUU Prolegnas Prioritas 2025-2026
Pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset baru-baru ini memunculkan diskusi hangat di ruang publik. Di satu sisi, UU ini dianggap sebagai terobosan penting untuk menjerat aset hasil tindak pidana, terutama korupsi yang telah menjadi persoalan structural yang melemahkan fondasi demokrasi dan ekonomi Indonesia. Laporan Transparency International (2023) mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, menandakan masih rendahnya integritas tata kelola pemerintahan. Angka ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum cukup kuat untuk mengikis budaya penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu titik lemah terletak pada mekanisme pemulihan aset hasil tindak pidana yang berjalan lamban dan kerap terhambat proses peradilan.
Dalam banyak kasus, meskipun pelaku korupsi berhasil dijatuhi hukuman, negara seringkali tidak memperoleh kembali aset hasil kejahatan. Uang dan kekayaan yang dinikmat para koruptor justru hilang, dipindahkan ke luar negeri, atau dicuci melalui transaksi rumit yang sulit dilacak. Akibatnya, hukuan badan terhadap pelaku tidak seimbang dengan kerugian negara yang dtanggung masyarakat luas. Disinilah Undang-Undang Perampasan Aset (UU PA) hadir membawa harapan baru.
Dengan pendekatan non-conviction based asset forfeiture (NCB), negara diberi kewenangan untuk merampas aset yang diduga hasil tindak pidana tanpa menunggu vonis peradilan. Mekanisme ini memungkinkan proses penyelamatan aset lebih cepat, sekalgus mencegah pelaku korupsi menikmati hasil kejahatannya. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC,2021), model ini serupa sudah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti efektif dalam memutus aliran dana kejahatan transnasional, termasuk korupsi dan pencucian uang.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa UU ini mendesak diimplementasikan. Yaitu : mempercepat pemulihan kerugian negara, memberi efek jera kepada pelaku, dan memperkuat komitmen Indonesia terhadap standar international. Meski begitu, tantangan tetap ada. Pakar hukum menilai mekanisme ini rawan melanggar hak asasi manusia bila tidak disertai kontrol ketat. Transparansi peradilan, akses keberatan dan integritas aparat menjadi kunci agar aturan ini tidak disalahgunakan.
Mahfud MD menegaskan, “RUU Perampasan Aset harus jadi prioritas. Kalau ini bisa disahkan, negara bisa lebih cepat menyelamatkan aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pidana”. Ia menolak gagasan denda damai bagi koruptor, karena menurutnya penyitaan aset jauh lebih penting agar negara benar-benar pulih dari kerugian.
Jika dilaksanakan dengan konsisten dan diawasi publik, RUU ini bisa jadi tonggak baru pemberantasan korupsi di Indonesia: memastikan kejahatan tidak lagi memberi keuntungan, dan kerugian negara bisa dipulihkan.
Pada Kamis, 18 September 2025, Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat kerja gabungan, Baleg DPR bersama pemerintaha dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI menyepakati perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 dan menetapkan Prolegnas Prioritas 2026. RUU Perampasan aset dimasukkan sebagai salah satu prioritas untuk dibahas pada tahun 2025.
Masuknya RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas Prioritas 2026 mempertimbangkan tuntutan publik, namun pembahasannya dilakukan secara hati-hati tanpa terburu-buru, sehingga dharapkan regulasi ini dapat disusun dengan matang dan efektif.
Penulis : Dewi Satriani