Caption Foto : Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Jahidin
Suarafajar, Samarinda – Masyarakat yang bermukim di Perumahan Korpri Loa Bakung terus memperjuangkan keinginan mereka agar status lahan yang mereka tempati dapat ditingkatkan dari Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Mengomentari permasalahan ini, Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Jahidin memang sering mendapat informasi dari masyarakat yang mengeluhkan polemik ini. Warga Perumahan Korpri Loa Bakung yang notabene masih berstatus ASN dan ada yang sudah purna tugas menginginkan rumah mereka yang telah dihuni selama puluhan tahun bisa ditingkatkan statusnya menjadi SHM
“Berdasarkan pengalaman saya, karena kebetulan juga saya memiliki rumah HGB kemudian ditingkatkan menjadi Hak milik, tentu ada batas waktunya. Kalau memang berakhir batas waktu sertifikat, maka kita ajukan permohonan untuk diproses,” terang Jahidin.
Namun yang sering diungkit oleh warga Perumahan Korpri Loa Bakung, kata Jahidin, banyak perumahan yang awalnya berstatus HGB dan dimiliki oleh Korpri di Kota Tepian sudah beralih status menjadi SHM. Sayangnya nasib berbeda dialami oleh warga Perumahan Korpri Loa Bakung, sehingga mereka ingin menuntut hal serupa.
“Jadi ada kecemburuan sosial di sini karena ada beberapa lokasi yang status tanahnya sama dari Korpri, tapi faktanya bisa menjadi hak milik,” ungkapnya.
Politisi PKB ini juga berulang kali mengadakan rapat bersama Pemprov Kaltim untuk membahas polemik ini. Dari beberapa pertemuan itu, satu hal yang menjadi hambatan mengapa status lahan Perumahan Korpri Loa Bakung tidak dapat ditingkatkan.
“Ternyata ada surat dari Kemendagri yang tidak memperbolehkan status lahan di Perumahan Korpri Loa Bakung menjadi hak milik. Jadi kendalanya di situ,” katanya.
Imbasnya, Gubernur tidak dapat mengambil kebijakan karena proses pensertifikatan itu berada dalam kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“BPN yang merupakan instansi vertikal, dan juga adanya larangan dari Kemendagri itu sendiri membuat kepala daerah berpikir dua kali untuk melabrak aturan tersebut,” ujarnya.
Meski terkendala, Jahidin menyampaikan bahwa status HGB dan SHM memiliki kekuatan hukum yang berbeda tipis. Memang ada daerah tertentu yang tidak bisa diberikan SHM, karena itu adalah suatu aturan dari pemerintah, yang kalau diberikan langsung hak milik maka akan mengurangi pendapatan asli daerah.
“HGB di perumahan korpri itu kekuatan hukumnya beda-beda tipis dengan SHM. Hanya pemahaman warga korpri bahwa nilai jual HGB dan SHM berbeda. Padahal status HGB itu sendiri bisa dijadikan agunan ke bank untuk mendapatkan pinjaman dan bisa juga dikuasai dan dimiliki secara turun temurun,” tegas Jahidin.
“Yang membedakan adalah ada batas untuk diperpanjang lagi, tetapi tidak akan diambil alih oleh pemerintah dan ini sudah sah,” tutupnya.
(ANR/ADV/DPRDKALTIM)